Saya bukanlah orang yang mudah mengingat kembali kenangan-kenangan dulu. Seakan sebagian besar darinya terkubur dan mengendap terlalu dalam. Seakan terlupakan..
Saya memang mudah melupakan. Bukan hal yang menyenangkan jika terkadang, saat bertemu teman lama saja saya lupa namanya. Bukan berniat melupakan, tapi sepertinya otak dan sistem kerjanya sudah terprogram seperti itu.
Saya seringkali terkagum-kagum saat teman bercerita tentang kejadian lucu semasa sekolah dulu. Bahkan ia sanggup mengingat dan menceritakan kembali sampai detail terkecilnya. Saat itulah saya bisa mengingat kembali dan bersorak, “ Waaaah…. Iya yaaa… ada kejadian seperti itu dulunya ya…”. Menyenangkan memang mengenang kembali kisah-kisah dulu, apalagi kisah bersama teman-teman semasa sekolah. Apalagi rasanya zaman dulu masih sedikit sekali yang menggunakan kamera, apalagi handphone, sehingga sarana pengingat hanyalah dari saling bercerita saja.
Bukan hanya kenangan semasa sekolah, namun kenangan lama yang ingin saya tarik kembali adalah kehidupan di kampung halaman dulu. Tidak banyak yang saya ingat, benar-benar hanya gambaran besarnya saja. Saya tinggal di sebuah desa, yang tidak terlalu ramai penduduknya. Kebanyakan areanya adalah persawahan dan ladang. Jalanannya pun tidak diaspal dan kampung kami belum memiliki listrik.
Saat itu keluarga saya masih menggunakan televisi hitam putih, dan menyalakannya dengan menggunakan aki. Setiap tiga hari sekali biasanya kakek saya, yang biasa saya panggil Atuk, akan mengantarkan aki untuk diisi ulang. Atuk akan mengantar dan menjemput aki tersebut menggunakan sepeda tuanya. Terkadang saya ikut menemani ke sana. Siaran televisinya pun tidak banyak, hanya TVRI dan TPI yang bisa saya tonton saat itu. Namun, lewat televisi itulah saya menonton piala dunia sejak masih TK, dan menjadi penyuka sepak bola sejak itu. Saya juga sempat menangis karena Itali yang saya dukung gagal menjadi juara.
Bicara tentang televisi, terkadang tetangga juga numpang menonton di rumah kami. Namun, saya pun pernah menumpang menonton di rumah tetangga yang memiliki parabola saat itu demi menonton telenovela, entah Maria Mercedes atau Marimar, hehe.. Tentu saja saya harus berjalan kaki ke bagian desa yang sudah dialiri listrik. Saat itu akan banyak tetangga lain yang ikut menonton. Begitulah gambaran desa saya saat itu.
Oiya, bicara tentang penerangan, sampai saat saya SMP, saya masih menggunakan petromaks. Kami menyebutnya “strongkeng”. Saya suka sekali menyalakan petromaks saat sudah sore hari. Namun walaupun begitu, petromaks adalah penerangan yang sangat bagus saat itu, karena kebanyakan akan menggunakan lampu tempel saja. Dan sampai setengah sepuluh, petromaks itu akan dipadamkan dan kami akan kembali dalam gelap.
Namun, walaupun begitu saya menyukai desa saya. Kami yang masih anak-anak akan ramai bermain bersama. Bermain masak-masakan dengan perlengkapan sekitar yang bisa dikumpulkan, membuat minyak dari daun yang diperas sendiri, bermain petak umpet, bermain tali, bermain benteng, hingga bermain bola. Kampung akan ramai oleh suara tawa anak-anak saat itu. Jauh berbeda dibanding sekarang tentunya. Saat saya pulang kampung, rumah sudah bertambah, sudah ada listrik tentunya, namun sangat sepi. Anak-anak pun jarang saya temui. Saat saya tanyakan ke orang tua saya, anak-anak kemana, jawabannya adalah anak-anak sibuk main hp. Waaah, zaman memang sudah berubah.. Hingga saya berfikir, jika diminta bercerita, akan seperti apa anak-anak sekarang merajut kenangannya nanti ya?
Namun, begitulah kenangan.. ia akan berharga bagi pemiliknya.. Bukan bagi orang yang tidak tahu apa-apa.. Maka tarik dan nikmatilah kenangan itu bersama mereka yang hidup di dalamnya..
Selamat menikmati kenanganmu..