Beberapa hari ini ada satu hal yang membuat saya tergelitik, yaitu mengenai suatu kasus korupsi yang menimpa suami seorang artis hingga membuatnya menjadi tersangka. Namun saya bukan bicara mengenai kasusnya, melainkan mengenai jari-jari netizen yang langsung bergerak menghujat sang artis di akun sosial medianya. Namun, ternyata banyak dari mereka yang salah sasaran. Hal ini dipicu oleh nama artis yang berkebalikan. Sebut saja salah satunya bernama "Mba Satu Dua", dan yang satunya "Mba Dua Satu". Nama artis yang saling berkebalikan itu membuat hujatan di akun yang salah sasaran ini tetap berlanjut di beberapa postingan instagramnya. Bahkan ini juga terjadi di postingan yang menyampaikan bahwa ia bukanlah orang yang dimaksud.
Dan apa yang terjadi selanjutnya, tentu para netizen lain yang menyadari kesalahan ini pun menyerang balik para netizen yang salah tersebut. Saling hujat pun berlanjut di akun mereka. Kata-kata yang seharusnya tidak pantas, juga menjadi bisa terucap begitu saja di kolom komentar mereka. Tak saya lihat pengakuan kesalahan, permintaan maaf atau pun usaha menghapus pernyataan yang keliru tersebut.
Informasi, emosi dan logika
Kejadian ini membuat saya semakin menyadari bahwa kemudahan informasi yang begitu cepat ini, juga membuat kita terlalu cepat untuk menyerap dan menyimpulkannya.
Jika dikiaskan saat makan, tidak ada proses kunyah hingga tiga puluh kali lagi, namun langsung telan saja.
Semua hampir melibatkan emosi, tanpa logika berpikir lagi. Jika ada suatu informasi, tidak ada lagi pengecekan kebenaran atau sekedar bertanya, "apakah ini benar?". Semua main hantam saja. Pelepasan opini yang tanpa pikir panjang sudah terlalu normal dan biasa. Jika salah, sepertinya tidak malu juga. Kenapa? Karena kita bicara di balik layar, bersembunyi dibalik jari-jari yang sibuk menari di atas keypad.
Itulah yang terjadi saat ini. Penghakiman dan perundungan sosial yang semakin marak saat ini. Jika dulu seorang maling, bisa dihakimi oleh masyarakat beramai-ramai, Bahkan tak jarang yang salah sasaran juga, karena menjadi korban maling teriak maling. Namun, sesungguhnya saat ini, bukan penghakiman secara fisik, namun juga penghakiman dan perundungan secara verbal di media sosial.
Fenomena ini hendaklah tidak menjadi hal yang biasa dan dibiasakan. Mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat, hendaklah mulai berusaha untuk menahan diri dan tidak bereaksi terlalu cepat.
Mulailah menunggu, jeda sebelum bertindak, ambil nafas dan sempatkan mengecek kebenaran sebelum mulai beropini atau mengambil keputusan. Jika tidak bisa, maka lebih baik diam.
Semoga kita dan masyarakat bisa menjadi lebih bijak dan tidak terjerumus menjadi pelaku kekerasan. Ingatlah bukan hanya mulutmu tapi jarimu juga adalah harimaumu. Maka berhati-hatilah!