Perkembangan Emosi Pada Anak

Ada kalanya Qina mengeluarkan emosinya, tampak kesal dan mukanya berubah memerah dan cemberut. Saya mencoba berbicara baik-baik.  Tapi suara kesalnya semakin kencang. Saya mencoba menarik nafas. Aaaah… tak jarang saya pun ikut terbawa emosi. Saya menjadi sulit menghadapinya. Saya seringkali bertanya-tanya, apa yang dilakukan saat seperti ini. Terkadang saya seperti berada di persimpangan jalan bingung memilih jalan yang mana.
 
Itulah sedikit emosi dan kebingungan saya yang terkadang terjadi di rumah. Emosi itu identik dengan Kita bisa memancing pembicaraan dengannya saat itu. bukan? Namun, ternyata emosi itu bukan hanya emosi marah, tapi juga emosi sedih,  bahagia, kaget,  malu, takut, bahkan jijik. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya kita mengelola emosi ini khususnya pada anak-anak?

Emosi-emosi tersebut ternyata perlu diekspresikan secara tepat. Karena jika ditahan atau diabaikan, lama-lama akan menjadi bom waktu, yang siap meledak kapan saja. Jika tidak meledak, maka emosi kita akan menjadi flat. Emosi flat pada anak, biasanya dipicu oleh bagaimana reaksi orang tua menghadapi emosi anak tersebut. Sebagai contoh, saat anak menangis karena sedih, orang tua akan menanggapi dengan “ jangan nangis, kamu sudah gede”. Hal ini ternyata adalah bentuk pengabaian emosi si anak. Akibatnya terbentuklah emosi flat pada anak. Untuk menghindari hal ini, salah satunya yang perlu dilakukan adalah dengan mengakui emosi itu sendiri. Salah satu caranya dengan ikut bersimpati kepada si anak.




Sejak kapan manusia merasakan emosi?

Emosi sudah ada sejak masih bayi. Menangis dan tersenyum adalah dua ekspresi emosional yang ditunjukkan oleh bayi. Selanjutnya, seiring bertambahnya usia, seperti di umur 3-6 tahun, anak-anak mulai mengenal emosi yang lain, seperti rasa bangga,  malu dan rasa bersalah. Selanjutnya, di umur 6 tahun mulai berkembang rasa takut, seperti takut monster, penculik dan hewan besar. Saat umurnya bertambah, ia juga akan mulai peka terhadap perasaan orang lain, dan mulai berempati. Lalu di umur 8 tahun,  emosi anak mulai berubah-ubah dengan cepat. Namun, ia sudah mulai paham dan menujukkan ketertarikan pada uang.  Saat seperti ini, kita sudah bisa mengajarkan konsep menabung padanya. 

Selanjutnya, di umur 9 tahun, anak mulai bisa mengendalikan emosinya di beberapa waktu. Rasa empatinya sudah semakin kuat. Namun ia akan mulai merasa cemas dan stres dengan pelajaran di sekolah. Kemandirian pun emakin terasah.  

Begitulah emosi ini akan semakin beragam, berkembang dan selanjutnya emosi itu akan lambat laun mengalami kematangan. Salah satu bentuk kematangan emosi pada anak adalah saat ia tahu dan bisa merasakan apa yang orang lain rasakan, atau biasa dikenal dengan empati. Kematangan emosi inilah yang akan membawa anak menuju keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya. 

Membangun Kecerdasan Emosi Anak

Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, dan mengontrol emosi diri dan lingkungan sekitarnya. Agar anak bisa memiliki kecerdasan emosi ini, peran serta orang tua sangatlah menentukan. Beberapa cara yang bisa dilakukan oleh para orang tua dalam membangun kecerdasan emosi anak :
  • Jadilah teladan emosi untuk anak
          Anak akan melihat dan selanjutnya meniru apa yang kita lakukan saat mengendalikan emosi. Jika kita adalah orang tua yang pemarah dan tidak bisa mengendalikan emosi, maka tidak heran jika nantinya anak akan menjadi pribadi yang pemarah juga.
  • Menerima emosi sebagai suatu yang wajar
          Mengakui emosi itu sendiriadalah hal yang sangat penting. Jika kita mengabaikan dan menahannya, maka lambat laun akan menjadi bom waktu.
  • Komunikasi dua arah
          Komunikasi dua arah ini salah satu contohnya adalah saling menceritakan emosi. Beberapa waktu yang bisa digunakan untuk membangun cerita dan komunikasi dengan anak adalah saat sepulang sekolah.  Saat itu, anak merasakan hal yang bermacan-macam di sekolah dan kantong emosinya biasanya dalam keadaan penuh.  Selain saat pulang sekolah, kita juga bisa memulai komunikasi saat makan bersama, baik di luar maupun di rumah. Saat seperti itu,  anak biasanya dalam kondisi fresh. Kita bisa memancing pembicaraan dengannya saat itu. Dan yang terakhir adalah saat sebelum tidur. Perasaan mulai tenang, badan pun mulai santai. sehingga tak jarang, saat seperti ini anak-anak lebih mudah untuk bercerita.
  • Bermain dan membangun bonding dengan anak
          Bukan hanya saat belajar dan melakukan tugas rumah bersama, namun kita juga bisa bermain bersama anak. Bermain bersama, apalagi permainan kesukaannya, tentu membuat anak lebih bahagia. Ia tentu senang saat kita berada bersamanya di dalam dunianya. Sehingga ikatan itu pun akan semakin kuat.  Ikatan atau bonding yang kuat inilah yang akan membangun komunikasi dan kedekatan dengan anak. Sehingga anak akan menjadi anak yang cerdas emosinya.


Demikianlah bagaimana emosi bisa begitu beragam dan berubah sesuai kondisi. Namun, akuilah emosi itu dengan sadar, kelola dan ekspresikan dengan baik. 

You Might Also Like

0 komentar